Krisis Multilateralisme 2025: Hikmah untuk Dunia Islam dan Indonesia
Tahun 2025 menjadi saksi bisu sebuah paradoks yang menggelisahkan: di tengah dunia yang semakin saling bergantung, kepercayaan antar bangsa justru semakin rapuh. Fenomena ini mengingatkan kita pada firman Allah dalam Al-Quran: "Dan Kami jadikan dari mereka itu umat-umat yang beraneka ragam supaya mereka saling mengenal."
Multilateralisme, yakni cara negara-negara menyelesaikan masalah bersama melalui aturan dan forum yang disepakati, kini menghadapi ujian terberat. Meskipun semua negara mengakui bahwa tantangan global tidak dapat diselesaikan sendirian, namun dalam praktiknya, masing-masing lebih sering membawa kecurigaan dan agenda domestik ketika duduk bersama.
Pelajaran dari Sejarah Peradaban Islam
Dalam perspektif Islam, konsep kerja sama antar bangsa bukanlah hal baru. Piagam Madinah yang ditetapkan Rasulullah SAW menjadi contoh cemerlang bagaimana berbagai suku dan agama dapat hidup berdampingan dalam kerangka kesepakatan yang adil dan saling menghormati.
Tahun 2025, yang menandai ulang tahun ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa, justru menunjukkan bahwa lembaga multilateral tersebut terlihat lelah menghadapi dunia yang penuh masalah. Konflik geopolitik belum reda, rivalitas negara besar belum menemukan solusi yang jelas.
Tantangan Ekonomi Global dan Nilai-Nilai Islam
Di sektor ekonomi, multilateralisme tampak tersendat. World Trade Organization belum sepenuhnya pulih wibawanya sebagai wasit perdagangan dunia. Perdagangan global makin diwarnai tarif, subsidi, dan kebijakan nasional yang defensif.
Islam mengajarkan prinsip keadilan dalam perdagangan melalui konsep tijara yang mengedepankan kejujuran dan saling menguntungkan. Namun realitas menunjukkan bahwa ketika semua negara menutup pintu, yang terjadi justru saling sikut, bukan kerja sama yang memberkati.
Krisis Iklim: Ujian Kepedulian Terhadap Alam
Isu perubahan iklim menjadi cermin paling jujur dari krisis multilateralisme. Semua sepakat krisis iklim nyata dan mendesak, namun komitmen sering berhenti di dokumen. Dalam Islam, manusia adalah khalifah di bumi yang bertanggung jawab menjaga kelestarian alam sebagai amanah Allah.
Negara berkembang meminta keadilan dalam pendanaan dan akses teknologi, sementara negara maju berbicara tentang transisi yang tertib. Di antara dua kepentingan ini, niat baik kerap kalah oleh tekanan politik domestik.
Indonesia dan Multilateralisme yang Berkeadilan
Bagi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dunia, tren multilateralisme 2025 sangat penting dicermati. Kita bukan negara superpower yang bisa menentukan aturan sendiri, namun juga bukan penonton pasif.
Kepentingan Indonesia justru hidup dari aturan bersama yang relatif adil. Perdagangan Indonesia hanya bisa tumbuh jika pasar dunia terbuka dan stabil. Lingkungan hidup membutuhkan komitmen global yang sungguh-sungguh.
Wisdom ASEAN: Konsensus dalam Keberagaman
Pendekatan ASEAN yang mengedepankan konsensus sering disalahpahami sebagai kelambanan. Namun di tengah dunia yang makin gaduh dan reaktif, kehati-hatian justru menjadi nilai. Konsensus memang pelan, tetapi mencegah perpecahan dan menahan konflik terbuka.
Hal ini sejalan dengan prinsip Islam dalam syura (musyawarah) yang mengutamakan kebijaksanaan dan kesabaran dalam mengambil keputusan bersama.
Jalan ke Depan: Multilateralisme yang Membumi
Multilateralisme 2025 tidak mati, hanya kelelahan karena dipaksa mengerjakan terlalu banyak hal dengan kepercayaan yang makin tipis. Yang dibutuhkan adalah multilateralisme yang lentur namun berprinsip.
Kerja sama global harus turun ke kehidupan sehari-hari dan terasa manfaatnya bagi rakyat biasa: harga pangan terjangkau, lapangan kerja aman, udara lebih bersih. Di situlah legitimasi sejati multilateralisme diuji.
Modernisasi institusi multilateral mutlak dilakukan. Aturan perlu diperbarui, representasi diperluas. Negara besar perlu menahan diri, negara kecil perlu berani bicara dan membangun solidaritas.
Membangun kerja sama memang merepotkan dan melelahkan, namun konflik selalu lebih mahal dan menyakitkan. Di tengah dunia yang mudah curiga, multilateralisme memberi ruang untuk berpikir bersama sebelum konflik berubah menjadi petaka global.
Wallahu a'lam bishawab.