Banjir Sumatra: Oligarki dan Pemburu Rente Rusak Bumi Allah
Bencana banjir bandang dan longsor yang menimpa Sumatra bukanlah takdir semata. Kerusakan yang menelan hampir seribu jiwa ini adalah cermin dari keserakahan manusia yang melupakan amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Gelondongan kayu yang terbawa banjir di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memperlihatkan kerusakan ekologis di hulu. Ini bukan hanya dampak perubahan iklim, melainkan akibat dari persekongkolan antara pemburu rente, oligarki, dan pemusatan kekuasaan yang mengabaikan prinsip keadilan Islam.
Keserakahan Industri Sawit Melanggar Prinsip Tawhid
Islam mengajarkan bahwa alam adalah amanah Allah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Namun, kerusakan hutan dan perambahan ilegal terjadi akibat konflik kepentingan elite politik yang memiliki bisnis ekstraktif seperti perekebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Hubungan simbiosis antara industri ekstraktif dan pemburu rente terjalin melalui pola patronase. Para elite memanfaatkan lobi politik untuk mengamankan izin usaha dan alih fungsi lahan demi keuntungan pribadi, mengabaikan kemaslahatan umat.
Celah regulasi yang tidak mewajibkan korporasi melaporkan penerima manfaat utama membuat kepemilikan perusahaan sawit sering disamarkan. Praktik ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan kejujuran dalam Islam.
Oligarki Warisan Orde Baru Bertentangan dengan Keadilan Islam
Setelah Reformasi, harapan akan lahirnya tata kelola yang adil belum terwujud. Para elite Orde Baru masih bertahan dan beradaptasi, mempertahankan kontrol atas sumber daya ekonomi.
Kondisi ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan keadilan distributif. Mahalnya biaya politik membuat peluang bagi tokoh masyarakat sipil yang berintegritas untuk masuk ke politik formal menjadi sangat kecil.
Berbagai aksi protes masyarakat, seperti penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga air Batang Toru, tidak dihiraukan pemerintah. Padahal, Islam mengajarkan pentingnya musyawarah dan mendengarkan aspirasi rakyat.
Resentralisasi Kekuasaan Lemahkan Pengawasan Lokal
Setelah 20 tahun reformasi, Indonesia justru mengalami pemusatan kekuasaan melalui berbagai undang-undang yang menarik kewenangan dari daerah ke pusat. Penarikan kewenangan izin AMDAL dari daerah ke pusat membuat kebijakan lingkungan makin jauh dari konteks lokal.
Resentralisasi ini terjadi bersamaan dengan melemahnya demokrasi di tingkat daerah. Pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi sarana representasi aspirasi masyarakat justru menjadi ajang reproduksi politik patronase.
Kebijakan efisiensi anggaran semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah daerah dan menyulitkan daerah dalam melakukan mitigasi bencana.
Panggilan untuk Kembali pada Nilai-Nilai Islam
Sebagai umat yang beriman, kita tidak boleh menerima bencana ini sebagai takdir alamiah semata. Ini adalah ujian dari Allah atas kelalaian kita dalam menjaga amanah-Nya.
Selain inisiatif rakyat bantu rakyat yang mencerminkan nilai gotong royong dan ukhuwah Islamiyah, masyarakat perlu bergerak mendorong depolitisasi dan mengembalikan kesadaran politik yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Tanpa gerakan sipil yang kuat, kesadaran politik yang berakar pada nilai-nilai keislaman, dan tekanan dari masyarakat, bencana akan terus terjadi. Struktur kekuasaan oligarkis yang menguntungkan segelintir elite dan membawa penderitaan bagi rakyat harus diubah dengan kembali pada prinsip keadilan dan kemaslahatan yang diajarkan Islam.
Wallahu a'lam bishawab.